Gadai Sawah
Pertanyaan:
A menggadaikan sawahnya ke B dengan jaminan sertifikat sawah dan A tetap menggarap sawahnya. Pada saat panen, A memberikan 50% hasil panen untuk B. Apa hukumnya praktik gadai seperti ini? SeAndainya ada riba didalamnya, apa solusi riilnya? Karena B pun ingin mendapat keuntungan dari investasinya tersebut?
Dari: Hasan
Jawaban:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, wa ba’du
Perlu dibedakan antara investasi dan gadai. karena konsekuensi dari transaksi ini berbeda.
Pertama, Investasi
Investasi atau penanaman modal untuk dunia pertanian bisa dilakukan dengan skema muzara’ah atau musaqah. Dari konteks yang Anda sampaikan, yang memungkinkan adalah muzara’ah. Seorang petani mendapatkan modal dari investor, untuk proyek pemanfaatan lahan pertanian, yang hasilnya dibagi berdasarkan kesepakatan.
Konsekuensi dari transaksi ini:
a. Modal yang diberikan investor harus digunakan untuk pengembangan pemanfaatan lahan pertanian, dan tidak boleh untuk konsumsi petani. Dengan demikian, besar nominal modal harus sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan untuk satu proyek tersebut.
b. Petani tidak diwajibkan menyerahkan sertifikat tanahnya. Karena transaksi ini dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama. Artinya, satu sama lain saling mempercayai. Si petani mendapatkan amanah untuk mengelola modal tersebut guna peningkatan hasil lahan pertaniannya.
c. Investor siap menanggung kerugian jika gagal, sebagaimana dia juga berhak mendapatkan keuntungan jika berhasil. Inilah bagian terpenting dalam transaksi muzara’ah atau bagi hasil lainnya. Bahkan meskipun harus tidak kembali modal sama sekali, karena gagal total.
d. Bagi hasil berdasarkan kesepakatan prosentase hasil, sehingga hanya bisa dibagi setelah proyek selesai.
Kedua, gadai
Hakikat transaksi gadai adalah utang piutang. Hanya saja, orang yang berutang (debitor) menyerahkan agunan sebagai jaminan kepercayaan. Sehingga sertifikat yang diserahkan, sama sekali tidak menunjukkan perpindahan kepemilikan sementara selama utang belum dilunasi. Artinya, sawah itu masih tetap milik petani 100%, meskipun sertifikat tanahnya ada di tangan kreditor.
Allah berfirman:
وان كنُتم على سفرٍ ولم تجدوا كاتباً فرهانٌ مقبوضة
“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang agunan yang dipegang (oleh yang berpiutang)…” (QS. Al-Baqarah: 283)
Bertransaksi tidak secara tunai menunjukkan masih menyisakan utang. Untuk jaminan kepercayaan, Allah syariatkan adanya barang agunan dari yang berutang, diserahkan kepada yang ber-piutang (kreditor).
Konsekuensi dari transaksi gadai:
a. Debitor wajib mengembalikan utangnya persis seperti yang dipinjamkan, apapun yang terjadi. Bahkan andaikan dia tidak sanggup membayarnnya sampai mati sekalipun. Karena itu, dalam Islam, ahli waris juga tetap wajib melunasi utang orang tuanya atau saudaranya yang meninggal, sementara masih menyisakan utang yang belum lunas.
b. Debitor boleh menggunakan uang yang dia terima dari kreditor untuk kepentingan apapun, meskipun tidak ada hubungannya dengan lahan pertanian. Bisa dia gunakan untuk berobat, biaya pendidikan atau lainnya.
c. Kreditor HARAM menerima segala bentuk hadiah atau hasil panen dari petani sebelum pelunasan utang selesai. Karena semua manfaat praktis yang didapatkan dari utang adalah riba.
d. Kreditor HARAM memanfaatkan tanah itu untuk diambil hasilnya selama masa gadai dan utang belum dilunasi. Karena tanah ini 100% masih milik petani, sehingga apapun hasil tanah itu, menjadi milik petani. Kreditor yang mengambil hasil dengan memanfaatkan sawah itu, statusnya riba.
Fudhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu, bahwa beliau mengatakan,
كل قرض جر منفعة فهو ربا
“Setiap piutang yang memberikan keuntungan, maka (keuntungan) itu adalah riba.”
Keterangan sahabat ini menjadi kaidah sangat penting dalam memahami riba. Setiap keuntungan yang didapatkan dari transaksi utang piutang, statusnya riba. Keuntungan yang dimaksud mencakup semua bentuk keuntungan, bahkan sampai bentuk keuntungan pelayanan. Diriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
إذا أقرض أحدكم قرضا فأهدى له أو حمله على الدابة فلا يركبها ولا يقبله
“Apabila kalian mengutangkan sesuatu kepada orang lain, kemudian (orang yang berutang) memberi hadiah kepada yang mengutangi atau memberi layanan berupa naik kendaraannya (dengan gratis), janganlah menaikinya dan jangan menerimanya.” (HR. Ibnu Majah; hadits ini memiliki beberapa penguat)
Jika petani ingin memberikan tanda terima kasih kepada kreditor, maka ini diperbolehkan dangen syarat:
a. Tidak ada persyaratan di awal
b. Dilakukan ketika atau setelah pelunasan utang selesai total.
Dalilnya, hadis dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu,
كَانَ لِرَجُلٍ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سِنٌّ مِنْ الإِبِلِ فَجَاءَهُ يَتَقَاضَاهُ فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَعْطُوهُ ، فَطَلَبُوا سِنَّهُ فَلَمْ يَجِدُوا لَهُ إِلا سِنًّا فَوْقَهَا ، فَقَالَ : (أَعْطُوهُ ، إِنَّ خِيَارَكُمْ أَحْسَنُكُمْ قَضَاءً) .
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memiliki utang onta dengan usia tertentu kepada seseorang. Tiba-tiba dia datang, minta pelunasan utang onta dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda kepada para sahabat: “Bayarkan untuk beliau” Para sahabat mencari onta yang seusia onta yang menjadi utang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun mereka tidak mendapatkannya, selain onta yang usianya lebih tua. Selanjutnya beliau bersabda:
“Bayarkan untuk beliau dengan onta itu, karena sebaik-baik kalian adalah orang yang bijaksana dalam melunasi utang.” (HR. Bukhari 2393)
Allahu a’lam
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina KonsultasiSyariah.com)
🔍 Bahasa Arab Insya Allah, Ketampanan Nabi Yusuf Dan Manusia Biasa, Rasul Ada Berapa, Lokasi Tembok Zulkarnain, 4 Bulanan Atau 7 Bulanan, Jual Potongan Rambut Panjang